Kultur Kopi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki
keanekaragaman sumber daya yang sangat melimpah, termasuk beberapa tanaman
perkebunan seperti kopi dan kakao. Tetapi pada kenyataannya produktivitas kakao
dan kopi saat ini di Indonesia mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena
tanaman kakao dan kopi yang ada sudah tidak produktif lagi, selain itu lahan
yang ada untuk perkembangbiakkan juga semakin sempit. Banyak cara yang dapat
dilakukan unuk mengatasi permasalahn ini termasuk diantaranya perbanyakan
secara konvesional secara vegetative dan generatif.
Perbanyakan klonal secara konvensional mempunyai kendala dalam
ketersediaan jumlah tunas dan cabang yang siap disetek, disambung dan
diukulasi. Perbanyakan secara vegetatif lebih sulit dibandingkan perbanyakan
secara generatif, namun tanaman yang dihasilkan lebih seragam.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan ini
adalah melalui perbanyakan secara in
vitro melalui kultur jaringan. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan
dapat dilakukan melalui jalur embriogenesis dan embrio somatik. Teknik embrio
somatik banyak dikembangkan untuk menghasilkan bibit dalam jumlah besar, tidak
terbatas dan dapat diperoleh dalm waktu yang lebih singkat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbanyakan Tanaman Perkebunan Secara Invitro
Kultur
jaringan (in vitro) adalah suatu metode mengisolasi bagian tanaman
seperti protoplas, sel, jaringan atau organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi
aseptik, sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat tumbuh dan memperbanyak
diri serta beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Perbanyakan tanaman
menggunakan teknik kultur jaringan (in vitro) dapat dilakukan melalui
jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Eksplan yang digunakan untuk
jalur organogenesis adalah stek buku, tunas aksilar, dan apikal, sementara
jalur embriogenesis somatik adalah daun muda.
2.1.1 Tanaman Kopi (Coffea sp.)
A. Klasifikasi dan Pengenalan
Botani
Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rubiales
Famili :
Rubiaceae
Genus :
Coffea
Spesies : Coffea sp.
Pengenalan Botani
Menurut Teressa et al (2010) Kopi termasuk keluarga
(suku rubiaceae), keluarga
coffea,bijinya berkeping dua (dikotil). Adapun akar dari tanaman kopi adalah akar
tunggal. Buah kopi yang masih muda berwarna hijau, sedangkan buah yang masak
berwarna merah. Pada umumnya kopi mengandung 2 butir biji, biji-biji tersebut
mempunyai bidang yang datar (perut) dan bidang yang cembung (punggun) (Elllyanti
dkk., 2012). Tanaman kopi memiliki dua tipe pertumbuhan cabang, yaitu cabang
ortotrop tumbuh ke arah vertikal dan cabang plagiotrop ke arah horisontal. Kopi
arabika memiliki percabangan yang lentur serta berdauntipis. Adapun spsies kopi
yang memiliki percabangan lebih kaku serta berdaun lebih tebal dan lebar. Daun
kopi berwarna hijau mengkilap yang tumbuh berpasangan dengan berlawanan arah (Michael
dkk., 2013).
B. Kultur In vitro
Untuk perbanyakan kultur
jaringan kopi, sumber eksplan yang digunakan adalah daun muda (flush)
yang kemudian diinduksi menjadi kalus dan dikembangkan menjadi embrio somatik (Arimarsetiowati,
2012). Perbanyakan kopi melalui embriogenesis somatik telah dilakukan sejak
lama, namun sampai saat ini masih banyak diteliti untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik. Keberhasilan menginduksi embriogenesis somatik dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya: sumber eksplan, jenis tanaman, genotipe tanaman,
keadaan fisiologi sel, formulasi zat pengatur tumbuh, komposisi media tumbuh,
dan lingkungan tumbuh (Ibrahim, 2015).
Tahapan Kultur Jaringan
Kopi
1. Pembuatan media
Pada kultur in vitro jaringan
daun kopi robusta (Coffea canephora var. robusta Chev.) pada medium
Murashige- Skoog (MS) dengan penambahan zat pengatur tumbuh
kinetin dan 2,4-D pada konsentrasi yang berbeda menghasilkan respon
pertumbuhan yang berbeda. Respon pertumbuhan yang terjadi berupa
embriogenesis somatik secara langsung, kalus yang berstruktur kompak dan
remah/fragil (Murni, 2010).
2. Pengambilan eksplan
Eksplan diambil dari pohon
induk kopi yang telah ditentukan genotipenya. Daun muda (flush) diambil dengan
cara menggunting tangkai daun. Daun yang dipilih adalah daun yang tidak
menunjukkan gejala serangan hama dan penyakit. Daun dimasukkan ke dalam kantong
plastik dan diberi label. Apabila pengambilan eksplan jauh dari laboratorium
kultur jaringan, eksplan sebaiknya dibawa menggunakan termos es untuk menjaga
kesegaran eksplan. Setelah sampai di laboratorium, jika tidak langsung dipakai
eksplan disimpan dalam suhu 5 - 10 °C. Daun yang disimpan pada kondisi tersebut
mampu bertahan selama ± 5 hari. Ketika hendak digunakan, daun sebaiknya
dibiarkan pada suhu ruang.
3. Sterilisasi
Sterilisasi eksplan kopi
dilakukan secara bertahap. Daun yang telah dipetik dibersihkan dengan air mengalir,
direndam dalam fungisida yang berbahan aktif mankozeb 80% dan bakterisida
dengan konsentrasi 0,2% selama 1 jam, lalu dibilas sampai bersih. Sterilisasi
eksplan lanjutan dilakukan di dalam laminar air flow. Daun direndam
dalam alkohol 70% selama 3 menit atau alkohol 50% selama 10 menit, dilanjutkan
dengan sodium hipoklorit 10% selama 15 menit. Terakhir daun dibilas 3 kali
menggunakan aquadest steril. Daun yang telah steril dipotong-potong di
atas petridist steril dengan ukuran ± 1 cm x 1 cm. Potongan daun kemudian
dikulturkan pada media induksi kalus (Ibrahim, 2015).
4. Inisiasi kultur
Tahapan menanam eksplan
pada media kultur. Kegiatan ini dilakukan di dalam laminar airflow
untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme yang dapat menyebabkan
gagalnya pertumbuhan eksplan. Dalam tahap ini dapat dilakukan pemilihan
bagian tanaman yang tumbuhnya paling baik untuk perbanyakan (multiplikasi)
tahap selanjutnya. Tabung reaksi atau botol kultur yang telah ditanami
eksplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang
steril dengan suhu kamar.
5. Pemeliharaan eksplan
Eksplan yang telah ditanam, agar tumbuh menjadi kalus
dan menjadi planlet, membutuhkan pemeliharaan yang tepat dan kontinyu. Eksplan
atau kalus yang sudah waktunya untuk dipindahkan ke dalam media tanam yang baru
harus segera dikerjakan, tidak boleh terlambat. Keterlambatan pemindahan
eksplan dapat menyebabkan pertumbuhan eksplan atau kalus terhenti atau bahkan
mengalami browning dan terkontaminasi oleh jamur atau bakteri.
6. Pengamatan eksplan
Kegiatan ini dilakukan pada fase saat eksplan menunjukkan
pertumbuhan tunas dan akar. Tahap ini berarti proses kultur jaringan
telah berhasil dilakukan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap
hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan tunas dan akar serta
untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri atau jamur. Eksplan
yang terkontaminasi menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau hitam
dengan adanya bulu-bulu halus (disebabkan jamur) atau cairan busuk
(disebabkan bakteri).
7. Aklimatisasi
Tahap akhir pemindahan planlet yang telah bertunas
dan berakar dari kondisi in vitro ke pembibitan (bedengan). Pemindahan
dilakukan secara hati-hati dan menggunakan sungkup. Sungkup berfungsi untuk
melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama/penyakit karena bibit hasil
kultur jaringan sangat peka terhadap serangan hama dan penyakit. Setelah bibit
mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, sungkup dilepaskan secara bertahap, selanjutnya
pemeliharaan bibit dilakukan sesuai standar pemeliharaan bibit konvensional (Arimarsetiowati,
2012).
C. Masalah yang terjadi dalam
Kultur Jaringan Kopi
1. Kontaminasi
Kontaminasi adalah
gangguan yang sangat umum terjadi dalam kultur jaringan kopi. Kontaminasi dapat
berupa munculnya jamur, bakteri, virus dan lain-lain. Upaya mencegah kontaminasi
dengan membiasakan membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam kultur jaringan
serta memastikan bahwa proses sterilisasi media dilakukan secara baik dan
benar. Cara untuk mengurangi kontaminasi jamur dan bakteri dalam kultur
jaringan kopi antara lain dengan merawat tanaman induk dalam kondisi kekeringan
selama 3–4 minggu sebelum dilakukan pengambilan eksplan. Tanaman diberi air
yang cukup, dipupuk, dan diberi pestisida atau fungisida. Pada saat memulai
kultur jaringan, eksplan daun dicuci bersih, dan bagian yang tidak akan
dikulturkan segera dibuang misalnya tulang daun dan tepi daun. Pembersihan
meliputi pencucian, penggosokan secara merata untuk membuang semua partikel
tanah dan daun mati.
2. Pencokelatan (browning)
Pencokelatan adalah suatu
karakter alamiah munculnya warna cokelat atau hitam yang sering sebagai tanda
gagalnya pertumbuhan dan perkembangan eksplan kopi. Hal ini disebabkan oleh
senyawa fenol yang timbul akibat stress mekanik akibat pelukaan saat proses
isolasi eksplan dari tanaman induk. Senyawa fenol tersebut bersifat toksik
sehingga menghambat pertumbuhan dan bahkan dapat mematikan jaringan eksplan.
Untuk mengatasi hal ini dapat digunakan senyawa polyvinylclorida (PVP).
3. Vitrifikasi
Vitrifikasi adalah masalah
dalam kultur jaringan tanaman kopi yang ditandai oleh munculnya pertumbuhan dan
perkembangan yang tidak normal seperti tanaman yang dihasilkan pendek-pendek,
pertumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter, tanaman terlihat
berwarna transparan dan daunnya tidak memiliki jaringan palisade.
4. Variabilitas genetik
Bila kultur jaringan
tanaman kopi digunakan sebagai upaya perbanyakan tanaman yang seragam dalam
jumlah banyak, dan bukan sebagai upaya pemuliaan tanaman, maka adanya variasi
genetik menjadi kendala. Variasi genetic dapat terjadi pada kultur in vitro karena
laju multiplikasi yang tinggi, subkultur berulang yang tidak terkontrol dan
penggunaan teknik yang tidak sesuai. Variasi genetik yang paling umum terjadi
pada kultur kalus dan kultur suspensi sel karena munculnya sifat kromosom yang
tidak stabil, teknis kultur, media, dan hormon.
5. Pertumbuhan dan perkembangan
Masalah yang berkaitan
dengan proses pertumbuhan dan perkembangan apabila eksplan yang ditanam
mengalami stagnasi dari mulai tanam sampai kurun waktu tertentu tidak mati
tetapi tidak tumbuh. Hal ini dapat dicegah dengan penanaman eksplan yang
memiliki jaringan meristematik dan juvenil karena awal pertumbuhan eksplan
dimulai dari sel-sel muda yang aktif membelah. Media juga dapat menjadi penyebab
terjadi stagnasi pertumbuhan karena dari kondisi media suatu sel dapat/tidak terdorong
melakukan proses pembelahan. Pada proses kultur jaringan yang bersifat indirect
embryogenesis, tahapan pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan
mendorong induksi embrio somatik dari sel-sel kalus. Embrio somatik dapat
terjadi secara endogen ataupun eksogen dan secara langsung maupun tidak langsung.
6. Lingkungan mikro
Suhu ruangan inkubator
sangat menentukan optimasi pertumbuhan eksplan. Suhu yang terlalu rendah atau
tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan (Arimarsetiowati,
2012).
2.1.2 Kultur Invitro pada Tanaman
Coklat (Theobromae cacao)
A. klasifikasi dan Pengenalan
Botani
Divisi : Spermatophyta
Kelas :
Dicotyledonae
Ordo : Malvales
Famili :
Sterculiceae
Genus :
Theobromae
Spesies :
Theobromae cacao
B. Kultur In vitro
Eksplan yang digunakan untuk induksi embryogenesis somatic pada kakao
adalah bagian bunga kakao (mahkota bunga, staminodia, dan kepala putik dan
embrio somatik. Jaringan tersebut banyak digunakan karena menghasilkan fenol
dan lender yang lebih sedikit dibandingkan bagian tanaman kakao yang lain.
Tahapan
Embriogenesis Somatik Kakao
1.
Sterilisasi
eksplan
Sterilisasi eksplan merupakan tahapan paling awal untuk menentukan
keberhasilan embryogenesis kakao. Kondisi tanaman kakao yang berlendir dan
kandungan fenol yang tinggi membutuhkan metode sterilisasi yang tepat agar
dapat mengatasi kendala tersebut. Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik
umumnya memiliki tingkat keberhasilannya lebih tinggi.
Eksplan petal, stminodia dan anther diambil dari bunga yang masih kuncup
ukuran 3-6 mm. Kuncup bunga diambil pada pagi hari, selanjutnya dilakukan
sterilisasi dengan menggunkana bahan sterilan antara lain alcohol 70%, larutan sodium hipoklorit konsentrasi 2,5% - 5%,
dan tween-20. Tahapan berikutnya adalah memisahkan bagian-bagain bunga dengan
cara membelah bagian bunga kemudian dipisahkan bagian staminodia, mahkota bunga
(petal) dan kepala putik (antera).
Eksplan yang sudah disterilisasi kemudian diregenerasikan melalui
beberapa tahapan yaitu: inisiasi, induksi, multiplikasi, dan pendewasaan.
2.
Inisiasi
kalus
Media
yang digunakna untuk inisiasi staminodia dilakukan pada media PCG (primary callus growth). Media tersebut
terdiri dari media dasar DKW (Driver and
Kuniyuki walnut) yang ditambah dengan glutamin 250 mg/l, myo-inositol 2
mg/l, thiamin HCl 1 mg/l, nicotinic acid2
mg/l, glukosa 20 g/l, 2,4-D 9 μM, Thidiazurron 22,7 μM.
Komposisi media PCG digunakan oleh
beberapa peneliti sebagai rujukan untuk media inisiasi pada embryogenesis
somatik kakao. Da Silva et al., (2008) menggunakan media PCG untuk inisiasi
kalus, dari hasil penelitian melaporkan genotype TSH 1188. Traore dan Guiltinian
(2006) melaporkan dengan komposisi media PCG yang dimodifikasi dari sumber
karbon yang berbeda, menunujukkan bahwa penggunaan sumber karbon dari glukosa,
fruktosa dan maltose menghailkan kalus embriogenik pada enam klon kakao, tetapi
penggunaan maltosa dan sorbitol tidak menghasilkan kalus.
3.
Induksi
embrio somatik
Kalus
yang sudah terbentuk selanjutnya disubkultur ke media induksi untuk memacu
pembentukan embrioid. Induksi kalus embriogenik diebut juga induksi kalus
sekunder (Secondary Callus Growth).
Komposisi media untuk induksi kalus sekunder (SCG) terdiri dari media dasar WPM
(Woody Plant Medium) ditambah dengan
larutan vitamin Gamborg’s, glukosa 20 g/l, 2,4-D 9 μM, kinetin 1,4 μM, air
kelapa 50ml/l dan phytagel 2,2 g/l.
4.
Regenerasi
embrio somatik
Media
untuk regenerasi embrio somatic oleh Li et
al., (1998) disebut dengan media Embryo
Devlopment (ED). Komposisi dari media tersebut menggunakan media dasar DKW
ditambah dengan myo-inositol 100 mg/l, 2mg/l Thiamin-HCl, Nicotic Acid 1mg/l, sukrosa 30 g/l, glukosa 1 g/l dan phytagel 2
g/l. Persentase kalus embriogenik yang mampu membentuk embrio somatic berkisar
antara 1-46%.
5.
Pendewasaan
dan Aklimatisasi
Embrio
somatik yang dihasilkan selanjutnya ditumbuhkan pada media perkecambahan dan
perakaran agar dapat berkembang menjadi planlet. Embrio somatic yang
dikecambahkan adalah embrio yang sudah mencapai fase kotiledon. Tidak semua
embrio yang dihasilkan mampu berkembang menjadi kecambah normal, karena
sebagian embrio menunjukkan perkembangan yang abnormal. Perkembangan abnormal
dicirikan dengan tidak terbentuknya tunas, atau tunas yang terbentuk tidak
mampu membentuk tunas baru dan tidak terbentuk akar.
Tahap
terakhir dari embryogenesis somatik adalah tahap aklimatisasi. Planlet dari
embrio somatik yang sudah memiliki bagian lengkap (daun dan akar) siap untuk
diaklimatisasi. Tahap tersebut juga berpengaruh terhadap keberhasilan dari
teknik embryogenesis somatik, karena tahapan tersebut merupakan tahapan
transisi dari tanaman kakao yang berasal dari kultur untuk dipindahkan ke
lapang. Kelembaban udara harus tetap dijaga. Planlet yang siap dikalimatisasi
adalah planlet yang mempunyai panjang akar kurang lebih 3 cm dan membentuk
minimal 3 ruas. Aklimatisasi menggunakan tanah yang sudah disterilkan. Tanaman
baru dapat dipindahkan ke lapang sekitar umur 2 bulan setelah aklimatisasi (Sulistiyorini
dan Tresniawati, 2015).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perbanyakan tanaman menggunakan teknik kultur jaringan (in vitro)
dapat dilakukan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Eksplan
yang digunakan untuk jalur organogenesis adalah stek buku, tunas aksilar, dan
apikal, sementara jalur embriogenesis somatik adalah daun muda. Ada beberapa
tahapan dalam kultur in vitro kopi yaitu : a) Pembuatan media, b) Pengambilan
eksplan c) Sterilisasi, d)
Inisiasi kultur, e) Pemeliharaan eksplan, f) Pengamatan eksplan, g)
Aklimatisasi. Ada beberapa tahapan kultur invitro tanaman kakao yaitu: a) Sterilisasi
eksplan, b) Inisiasi kalus, c) Induksi embrio somatik, d) Regenerasi embrio
somatik, e) Pendewasaan dan Aklimatisasi.
3.2.
Saran
Penulis berharap agar
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan mendapat masukan dan
kritikan dari para pembaca. Semoga para peneliti selanjutnya dapat memberikan masukan
yang lebih baik lagi untuk kultur in vitor tanaman perkebunan.
DAFTAR PUSTAKA
Arimarsetiowati,
R., (2012), Kultur Jaringan Tanaman Kopi, Warta Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia, 24(2): 13-17.
Ellyanti,
Abubakar K., dan Hairul B. 2012.
Analisis Indikasi Geografis Kopi Arabika Gayo Ditinjau dari Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten. Agrista, 16(2): 46-61.
Hutami, S., (2008), Masalah Pencokelatan
pada Kultur Jaringan, Jurnal AgroBiogen 4(2):83-88.
Ibrahim,
M.S.D.,(2015), Faktor Penentu Keberhasilan Perbanyakan Kopi (Coffea spp.)
melalui Embriogenesis Somatik, SIRINOV, 3(3): 127-136.
Michael,
W. G., Sentayehu A., Taye K., and Tadesse B. 2013. Genetic Diversity Analysis
of Some Ethiopian Specialty Coffee (Coffea arabica L.) Germplasm
Accessions Based on Morphological Traits. Time Journals of Agriculture and
Veterinary Sciences, 1(4): 47-54.
Murni,
P., (2010), Embriogenesis somatik pada kultur in vitro daun kopi robusta
(coffea canephora var. Robusta chev.), Biospecies, 2(2): 22-26.
Sulistiyorini,
I., dan Tresniawati, C., (2015), Regenerasi
Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Melalui Somatik, SIRINOV, 3(2): 75:82.
Teressa,
A., Dominique C., Vincent P., and Pier B. 2010. Genetic Diversity of Arabica
Coffee (Coffea arabica L.) Collections. EJAST, 1(1): 63-79.
Comments
Post a Comment